Pendidikan Indonesia: Masa Orientasi Siswa Sekolah (MOS) Bukan Ajang Kekerasan, Tetapi Mendidik

loading...
Masa orientasi Siswa memberikan pengalaman tersendiri bagi sejumlah murid baru, baik itu calon murid SMP sederajat maupun SMA sederajat. Yang tentunya mulai dari perasaan takut, grogi sampai kurang percaya diri untuk menghadapi ajang ini, dimana tujuan MOS sebenarnya yaitu memberikan kesempatan kepada murid baru untuk beradaptasi selama tiga hari sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai sesungguhnya.

Pendidikan Indonesia: Masa Orientasi Siswa Sekolah (MOS) Bukan Ajang Kekerasan, Tetapi Mendidik
Pendidikan Indonesia: Masa Orientasi Siswa (MOS) Bukan Ajang Kekerasan, Tetapi Mendidik

Seorang Professor di Indonesia, bernama Rhenald Kasali (Guru Besar FE UI) bercerita dalam masalah pendidikan di Indonesia, yang masih bersinggungan dalam kegiatan MOS. Dia bercerita bahwa sekitar tahun 2000, pernah mengajukan sebuah protes pada guru sebuah sekolah tempat anaknya belajar, di Negara Amerika Serikat. Dimana, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anaknya diberi nilai excellence yang artinya sempurna, padahal sang bapak menilai karangan yang ditulis sang anak buruk, logikanya terlalu sederhana. 

Hal itu karena sang anak memang baru saja tiba di Amerika Serikat, baru mulai belajar bahasa disana.
Dan rupanya karangan yang diserahkan kepada gurunya tersebut bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Sehingga sang bapak bertanya-tanya “Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan?, Kalau yang begini saja sudah diberi nilai tinggi, saya khawatir nantinya anak saya cepat puas diri.”

Sewaktu sang bapak protes, ibu guru hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak dari mana?”

“Dari Indonesia,” jawab saya.

Dia pun tersenyum. “Saya mengerti,” jawab ibu guru. 

 “Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak anaknya dididik di sini,” lanjutnya. 

“Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Adapun filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang anak didik agar maju. Encouragement! 

“Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak yang umurnya baru segitu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukanlah bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya sambil menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak sang bapak tersebut.

Pendidikan Indonesia: Masa Orientasi Siswa Sekolah (MOS) Bukan Ajang Kekerasan, Tetapi Mendidik

Dari diskusi itu sang bapak (Prof. Rhenald Kasali) mendapat pelajaran berharga. Bagi Prof. Rhenald Kasali, pertemuan itu menjadi titik balik yang amat penting dalam hidupnya, yang mengubahnya dalam cara mendidik dan membangun masyarakat.

Dan dirinya teringat bahwa betapa mudahnya menyelesaikan study yang bergelimang nilai “A”, dari program master hingga doktor disana. Sementara di Indonesia, harus menyelesaikan studi hingga “kepala di  kaki” dan “kaki di kepala” dengan tambahan ancaman drop out, dan para penguji yang siap menerkam. 

Di Amerika Serikat, ketika ujian tentunya pertanyaan tetap akan sangat serius, akan tetapi suasana ujian dibuat sangat nyaman, penguji menerangkan dengan seterang-terangnya sehingga semakin mengerti. Ujian penuh puja-puji (motivasi), menanyakan tentang rencana  masa depan, serta mendiskusikan kekurangan dengan penuh keterbukaan.

Kenyataan di Negeri sendiri
Adapun ketika kembali ke Tanah Air, banyak hal yang justru sebaliknya terjadi, para pengajar yang bukan saling menolong, malah justru menjadi oknum yang “menelan” mahasiswa nya yang duduk di bangku ujian. Sang Professor mengaku sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan kondisi para dosen yang menguji, yang menurut hematnya (maaf) sangat tidak manusiawi.

Mereka bukan melakukan encouragement, justru melakukan discouragement. Dan sistem yang seperti ini maka hasilnya pun bisa dengan mudah diduga, yaitu tingkat kelulusan rendah, dan bahkan yang diluluskan pun kualitasnya tidak istimewa. 

Sang Profesor ingat betul tentang bagaimana cara dari guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya, sehingga dia menilai cukup pantas anak-anak disana mampu membuat karya-karya ilmiah yang luar biasa, bahkan hingga menjadi penerima Hadiah Nobel. Hal itu dapat terjadi bukan karena mereka memiliki kualitas guru yang istimewa secara akademis, melainkan justru memiliki karakter yang sangat kuat, yang merupakan karakter yang membangun, bukan malah merusak.

Kembali pada cerita sang anak, ibu guru mengingatkan sang bapak bahwa kita jangan mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan, demikian perkataan sang guru dengan penuh kesungguhan.

Dan anak-anak Indonesia yang baru di Amerika secara umum mengalami kesulitan dalam beradaptasi disana (membutuhkan waktu), sehingga rapornya tidak diberikan nilai merah, melainkan hanya diberi kalimat yang mendorong nya seperti bekerja lebih keras lagi, salah satu contohnya yaitu “Kamu telah memulainya dengan berat, Kamu mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun, Kamu telah menunjukan kemajuan yang berarti.”

Melahirkan generasi hebat
Nah, sekarang ini untuk melahirkan anak yang hebat, dapatkah dilakukan dengan menciptakan hambatan dan rasa takut? Yang ada (seperti kita saksikan sendiri) yaitu generasi yang dibentuk dari sejuta ancaman, gesper, rotan pemukul, serta kapur dan penghapus yang dilontarkan dengan sangat keras oleh sang pendidik, hingga bahkan sampai sundutan rokok, dan gamparan yang dilakukan oleh sang pendidik.

Secara nilai positifnya mungkin sekolah yang seperti disebutkan diatas telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Akan tetapi nilai negatifnya terlalu banyak, yang telah mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat sang murid. Para ahli menyebutkan bahwa otak manusia tidaklah statis, melainkan dapat berubah baik itu mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh dan berkembang.

Dan semuanya itu amatlah tergantung dari seberapa besar dukungan moral dan motivasi yang didapat dari orang-orang di sekitarnya, utamanya dari para pendidik, yaitu guru dan orang tua. Sehingga dengan diterapkannya sistem yang baik tersebut, membuat kecerdasan murid dapat tumbuh dan berkembang dengan sangat cepatnya, dan sebaliknya juga kemampuan murid dapat menurun jika yang diberikan hanya berupa ancaman, menghilangkan semangat bahkan hingga pemukulan, akan tetapi tidak pernah memberikan motivasi, nasehat dan pujian yang dibutuhkan oleh siswa didik. 

Tidak mendidik dan anehnya MOS di Indonesia

Untuk itu amat penting mendorong kemajuan, bukan justru menaburkan ancaman atau ketakutan pada dunia pendidikan, bahkan hal-hal konyol (yang utamanya terjadi pada “musim” Masa Orientasi Siswa), seperti kejadian nyata sebuah OSPEK yang dilakukan di sebuah perguruan tinggi swasta. Dimana Mahasiswa harus hadir pagi-pagi sekali, (okelah, itu mungkin bertujuan untuk latihan Time Management)

Akan tetapi yang aneh .mereka “dipaksa” memakai SERAGAM OSPEK berupa kaos kaki sepak bola yang berbeda warna, memakai kalung yang berisi petai, jengkol dan kaleng bekas, memakai  kuncir yang sangat banyak bagi wanita dengan warna pitanya macam-macam, membawa tas yang terbuat dari karung goni dan hal-hal aneh an konyol lainnya.

Dan alangkah lebih baiknya, jikalau mereka diajarkan tentang cara berpenampilan yang rapih, belajar tepat waktu, belajar berkreasi, melatih akhlak yang baik dan hal-hal positif lainnya. Selain di Amerika Serikat, yaitu di Australia, bahwa ada seorang guru sekolah menengah di Australia (yang berasal dari Indonesia), dirinya mengajar Bahasa Indonesia dan Humanities. Dia bercerita pada sebuah laman facebook bahwa di negara-negara maju (Australia), tidak boleh ada kata-kata yang membunuh kepercayaan diri siswa, meskipun kelemahannya disana (Australia) kelemahannya banyak siswa yang tidak sopan bahkan kurang ajar. 

Disana tidak ada sistem tidak naik kelas, walau nilai mereka jeblok semuanya, tetapi siswa tetap otomatis naik kelas, setelah di kelas 9, mereka bisa memilih untuk mengambil jurusan kejuruan, dan untuk yang kelas 12 mempersiapkan untuk masuk Universitas, Barulah ketika ingin masuk Universitas ini, akan ada seleksi super ketat, yang berarti memisahkan anak yang mampu masuk Universitas dan yang tidak. 

Dengan begitu mengenai pelaksanaan MOS di negeri yang kita cintai ini, seperti calon mahasiswa perlu diajari orientasi pengenalan kampus, motto, visi, misi kampus, berbagai mata pelajaran hingga pengenalan bangunan sekolah / kampus, memperkenalkan para staff, dosen & rektor. Dan pelaksanaannya cukup 1 atau 2 hari saja. Dan jangan lupa yang sangat penting, yaitu tidak perlu ada  yang namanya senior berkuasa, dan junior harus “dipaksa” tunduk serta mengalami ketakutan. Karena kita adalah Bangsa yang Merdeka, jangan justru menjajah sesama bangsa sendiri.

Dan juga alangkah baiknya ketika MOS dimanfaatkan juga waktunya untuk memberikan pengajaran mengenai permasalahan yang umum dan sederhana di masyarakat, seperti bahaya narokoba, buruknya kebiasaan merokok, pentingnya taat lalu lintas ketika berkendara untuk keselamatan dan hal-hal lainnya.

Akhir kata
Ada banyak permasalahan yang menimpa (dalam dunia pendidikan) di Negeri yang kita cintai ini, salah satunya yang dibahas kali ini yaitu masalah pelaksanaan MOS, senioritas kakak kelas ke adik kelas yang tidak memberikan manfaat sama sekali, justru kerusakan nya sangat besar, kemudian guru yang kurang cakap dan matang dalam mendidik siswa. Dan masih ada masalah dalam dunia pendidikan ini yang menjadi “PR” untuk pemerintah dan juga masyarakat dalam menyelesaikan masalah yang masih bejubel jumlahnya ini.

Semoga bermanfaat.

loading...
Artikel Terkait: